Sang Pembawa Aksara Ke Suku Kabut

Di sebuah rumah beratap jerami yang tak berdinding, deretan alphabet ditulis agak besar dengan spidol di atas papan putih mengkilap. Seorang pemuda berdiri di depan sesekali menunjuk ke papan lalu meneriakkan sebuah suku kata yang langsung diikuti orang-orang dewasa yang duduk di bangku kayu panjang.

Itu adalah suara Doni Gareda, seorang pemuda berdarah Sangihe Talaud, yang diutus PESAT untuk melayani Suku Lauje. Orang-orang, termasuk kepala suku, akrab memanggilnya “Pak Guru”. Para muridnya masih menyandang parang di pinggang mereka, bertelanjang kaki, mereka duduk di bangku dari batang kayu yang panjang. Kelas ini tiap hari dimulai pada pukul 11 pagi, dan para murid biasanya baru datang dari ladang, atau pulang berburu.

Sesekali terdengar suara gelak tawa, lalu ada seorang murid yang tertunduk dan tersipu-sipu menahan malu. Beberapa yang belum lancar membaca, kadang merasa sangat malu jika disuruh membaca sendiri di kelas. Mereka lalu menulis di buku seperti yang tertera di papan, jari mereka kuat sekali menekan pensil, dengan mimik muka yang serius dan bibir turut mengerut, perlahan mereka mulai menggoreskan satu demi satu abjad di atas kertas.

“Awalnya sulit mengajak mereka duduk di kelas untuk belajar, bahkan untuk itu kami harus mengumpulkan mereka satu per satu, menarik dan merangkul mereka dari balik-balik pohon, karena begitu melihat kita, mereka sudah lari sembunyi,” Doni Gareda mengawali percakapan di antara tebalnya kabut di puncak bukit.

Mereka bukannya takut, tapi malu jika bertemu orang asing yang lebih maju, seperti kami. Bahkan ketika sudah duduk di kelas pun sebagian masih menutupi wajah mereka dengan kain sarung. Saya sempat kaget ketika tahun 2008 diutus ke sini, ternyata di Sulawesi Tengah masih ada satu komunitas masyarakat yang hidup terasing dan masih menjalankan kehidupan suku-suku kuno yang peradabannya telah tertinggal ratusan tahun di belakang teknologi modern kita, Doni menambahkan.

Suku terasing yang dilayani Doni ini adalah Suku Lauje yang komunitasnya masih tinggal di ogo-ogo atau dusun mereka di dataran tinggi yang selalu berselimut kabut. Tidak ada apapun di sini selain hutan rimba. Keterasingan, membuat mereka tidak bisa terjangkau program pemerintah seperti layanan kesehatan dan pendidikan.

Ketika tiba di sini pun, Doni sempat bingung. Ia bertanya dalam hati: “Kemana orang-orang?” Ia tidak menemukan seorang pun, bahkan desa mereka tidak seperti yang ia bayangkan di mana ada deretan rumah-rumah. Di sini rumah yang satu berada di bukit sini dan rumah yang lain berada di bukit sana, saling berjauhan, Doni bercerita sambil menarik nafas. Orang-orang suku Lauje yang terasing ini sungguh muncul dan menghilang di balik-balik kabut yang pekat di pegunungan mereka.

Penuh kesabaran dan tidak kenal kata lelah, meski ini sungguh menguras tenaga dan pikirannya, Doni dan rekan-rekan akhirnya bisa membuat mereka duduk di kelas tanpa malu-malu lagi. Ketika kami harus memperkenalkan mereka pada huruf dan angka, mengajar baca-tulis, pertama-tama mereka diperkenalkan pada pensil, kertas, dan buku. Apa kegunaannya, dan bagaimana cara memakainya. “Mereka memegang pensil seperti orang menggenggam tongkat kayu,” Doni tertawa. Komunitas suku terasing ini tidak pernah mengenal itu semua, kami harus mengajarkan mereka secara halus dan pelan-pelan, tambahnya.

Memperkenalkan huruf A-B-C… dan bagaimana bunyinya… lalu berhitung 1, 2, 3, dan seterusnya… Waktu berlalu, akhirnya perlahan mereka sudah bisa mengeja kata-kata. Ruang kelas penuh orang-orang tua itu kini mirip dengan kelas 1 SD, ada yang membaca kata dengan terbata-bata dan putus-putus, ada yang menghafal angka 1 sampai 10. Mereka akhirnya sangat antusias, ibu-ibu sambil menggendong bayi pun duduk di kelas dan belajar menulis.

Bunyi “s” dan “h” adalah bunyi yang sama jika dilafalkan oleh orang Lauje, beberapa huruf memang tidak bisa sempurna mereka bunyikan, karena dalam bahasa Lauje tidak mengenal beberapa lafal tertentu seperti bunyi “ef” dan “ve”, jadi mereka membunyikan itu semua dengan “ep” atau “pe”, terang Doni sambil tersenyum.

Apa pentingnya orang-orang terasing ini belajar baca-tulis dan berhitung?

Bisa baca-tulis itu penting, karena mereka akan bisa banyak belajar tentang banyak hal jika mereka sudah bisa membaca kelak. Itu yang terutama. Disamping itu, mereka adalah pewaris alam yang kaya. Gunung, hutan,  sungai, segala yang tumbuh dan yang terkandung di tanah moyang mereka ini haruslah mereka kuasai dan kelola.

Biar bagaimanapun meski mereka hidup di tempat yang sangat terpencil dan terasing di puncak-puncak gunung, namun tak dipungkiri bahwa mereka juga hidup di zaman yang sama dengan orang-orang di tempat lain yang jauh lebih maju. Selalu saja ada interaksi dengan orang modern, seperti ketika mereka menjual hasil bumi mereka  ke pasar di daratan rendah, mereka tidak akan dibohongi oleh orang-orang yang sudah modern, jika mereka sudah berpikiran maju.

Berharap pemukiman di ogo-ogo mereka di tengah hutan ini juga bisa meningkat statusnya menjadi dusun yang secara administratif tercatat di pemerintahan daerah. Mereka bisa memiliki seorang kepala dusun dari komunitas mereka sendiri yang resmi tercatat pemerintah. Sehingga merekapun akan dapat berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti warga negara lainnya, serta dapat mengakses program-program layanan pemerintah seperti kesehatan dan pendidikan.

Melalui aksara, Doni Gareda dan rekan-rekan di sekolah di hutan sana terus berusaha untuk membangun generasi baru Suku Lauje, agar kelak lahir generasi yang berpendidikan. Aksara yang dibawanya sejak bertahun-tahun lalu seperti mantra sakti, seiring waktu telah banyak merubah wajah Orang Lauje, banyak orang dewasa telah bisa membaca dan menulis. Anak-anak mereka pun kini bisa pergi ke sekolah formal, SD Mo’otuwu Terpadu, sekolah yang didirikan PESAT di ogo-ogo mereka pada pertengahan 2012. Dalam bahasa Lauje, “Mo’otuwu” berarti hidup! (tony)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di https://bit.ly/DataSponsor-FC

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry