Bagaimana anak desa bersekolah di masa pandemi?
Tahun ajaran baru sudah dimulai, tapi pandemi belum usai. Orang tua seperti biasa tetap memasukkan anak-anaknya ke sekolah. Semangat mereka tetap sama, demi masa depan, meski kami harus memulai proses belajar-mengajar dengan cara yang tak biasa.Karena semuanya mendadak baru, jadi para guru, orang tua murid, dan anak-anak juga sama sama belajar menyesuaikan diri dengan keadaan. Ada suka, tapi tak sedikit pula kendala di sela para guru dan orang tua berjuang agar anak-anak tetap bisa menuntut ilmu.“Keliling ke rumah anak-anak juga tidak di izinkan, jadi kami mengalami kesulitan,” kata Kemijah, Ibu Guru TK di Pasuruan, Jawa Timur, nadanya bercampur keluh.
“Bagaimana ceritanya?” tanyaku.
Kemijah melanjutkan, “Tidak bisa bertatap muka langsung dengan anak-anak itu mengurangi kualitas penyampaian materi. Dampaknya, anak-anak mengerjakan tugas tidak sesuai harapan.”Dari Jawa Timur kita tengok desa Pampang di Kalimantan Timur, Ibu Guru Sarlota bilang: “Agak kesulitan jika tidak bertatap muka langsung dengan anak-anak, karena kita tidak bisa memahami sifat dan kebiasaan anak yang sesungguhnya.”
Dari Kalimantan Timur, kita ke Lampung – Sumatera, Ibu Guru Magdalena Talo bilang, TK sudah dimulai 13 juli, dan belajar tatap muka dengan anak-anak. “Tapi saya yang mengunjungi rumah-rumah mereka, beberapa anak yang rumahnya bertetanggaan saya kumpulkan tak lebih dari 5 anak. Lalu TK dimulai, durasinya hanya 60 menit,” jelas Magdalena tersenyum.Ya, jadi ada beberapa kelompok anak yang harus saya kunjungi setiap hari. Lumayan melelahkan, karena harus berjalan kaki, maklum belum ada kendaraan inventaris, katanya lagi. Kurikulum disesuaikan selama masa pandemi, kami menyusun pembelajaran 1 minggu, dan disederhanakan. Sekarang pun kami mengenal istilah “daring dan luring”, Magdalena tertawa, tapi di sini kami lebih banyak luring, luar jaringan, alias tidak menggunakan internet. Bukan susah sinyal, tapi di desa ini masih banyak orang tua yang tidak terbiasa dengan kuota internet, dan belum punya ponsel pintar.
“Di awal tahun ajaran, kami menyosialisasikan cara belajar dari rumah kepada orang tua, tak luoa membahas tentang pola asuh dan pentingnya dunia bermain bagi anak. Sepertinya ada unsur menjaga kesehatan mental di sini, antisipasi dampak psikologis yang mungkin saja akan bisa terjadi”.
“Untuk luring itu kalau di Toraja kendala yang kami hadapi adalah jarak tempuh ke rumah-rumah anak itu cukup jauh,” sambung Bu Guru Atrinda Olang dari TK Ecclesia Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ia menerima 37 murid baru bulan ini.
Dari Toraja kita terbang ke Lembah Baliem, Papua. Sekolah di sana juga sudah bergulir. “Sekolah membagikan buku cetak pelajaran dan modul kepada para murid mulai dari PAUD hingga SMA. Modul-modul itu dikembalikan ke sekolah setiap hari Sabtu. Kita membuat kelompok-kelompok belajar dan mengajar di rumah anak-anak, tambahnya. “Hal ini harus dilakukan untuk mengatasi lemahnya jaringan, anak-anak sulit dihubungi,” kata Hendrik Legi, Kepala Sekolah Triesa Unggul Terpadu.
“Sebelum tahun ajaran bergulir, kami menyosialisasikan cara belajar dari rumah atau BDR kepada orang tua, tak lupa membahas tentang pola asuh dan pentingnya dunia bermain bagi anak,” jelas Sharlota. Sepertinya ada unsur menjaga kesehatan mental di sini, antisipasi dampak psikologis yang mungkin saja akan bisa terjadi. Ini kan beranjak dari observasi sekian lama tentang kebiasaan orang tua di rumah, beberapa ortu ada yang cuek, tidak mendampingi anak belajar di rumah. Mendampingi tapi tidak sabaran. Tapi ada juga yang selalu push anaknya untuk terus belajar, tanpa memperhatikan kebutuhan waktu bermain bagi mereka.Dilandasi doa bersama para orang tua, kami membagikan Rencana Pembelajaran Mingguan (RPM) kepada mereka untuk diterapkan di rumah, ada pembelajaran melalui video dan lembar/alat bahan kegiatan. “Semoga orang tua dapat mendidik anak-anak di rumah dengan hikmat dan sukacita,” harap Sharlota.Hal senada juga disampaikan Kepsek Hendrik Legi dari Wamena: “Kami berharap orang tua dapat menolong anak mereka belajar dengan baik. Pandemi bisa berakhir, guru dan siswa boleh belajar tatap muka kembali.” (ton)
* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.
*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.
Sponsori seorang anak desa di https://bit.ly/DataSponsor-FC
Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos
WA: https://wa.me/6285101294002
Instagram: pesat_ministry
Untuk menginformasikan donasi anda silahkan hubungi kami di 0851 0029 4001 (Senin s/d Jumat, jam 9.00-17.00) atau kirim e-mail ke pesatjkt@gmail.com