“Kalau tidak ada gempa mungkin aku tidak tahu ada satu tempat yang bernama Kulawi, dan tak pernah punya kesempatan untuk kenal dan berbagi kasih dengan orang-orang yang tinggal di pegunungan yang sunyi ini…”
Bumi marah, aku bicara dalam hati, sepanjang jalan menuju ke Kulawi 90 kilometer dari kota Palu, porak-poranda akibat likuifaksi menyapa pandang di Sibalaya ketika ban motor kami pecah di 15 menit pertama perjalanan. “Tanah bergerak, membawa rumah dan pohon-pohon pindah ke seberang sana,” ujar Pak Odang, ia membuka warung tak jauh dari hamparan yang kini kosong dan terlarang untuk ditinggali itu.
Kami mau ke Kulawi, aku menjawab Pak Odang. Wah, masih tiga jam lagi, balasnya. “Di atas gunung sana,” sembari mengarahkan jari telunjuknya ke panorama di depan warungnya; barisan pegunungan berbalut awan-awan.Kita melanjutkan perjalanan, terus menanjak. Dua jam kemudian batang-batang pohon tumbang berserakan menghadang jalan kami, lumpur dan air yang masih terus mengalir dari bukit di atas. Ini adalah Salua, satu desa yang porak-poranda akibat banjir bandang. Rumah-rumah di sini hancur tersapu, kami berjalan perlahan melewati penduduk yang sedang mengais barang-barang di reruntuhan.
Di depan sana, aliran sungai yang sangat deras masih terus mengalir membuat jalur pelarian yang lebih lebar lagi seperti mencari jalan menuruni lereng gunung. Kami berkendara di antara bekas material longsor yang labil di antara liuk-liukan bukit-bukit dengan jurang yang menganga di bawah. Jalan ini satu-satunya akses menuju Kulawi di Kabupaten Sigi, bagian selatan Sulawesi Tengah. Tempat ini bernama Tuba, tidak ada orang tinggal, dan tidak disarankan lewat pada malam hari saat hujan. Di masa tanggap darurat, membawa logistik bantuan ke Kulawi adalah pergumulan tersendiri bagi tim bantuan kemanusiaan PESAT.
Akhirnya kami tiba di Kulawi, satu kecamantan dengan 12 desa. Di sini kami membantu 3 desa yang terparah; Lamo, Boladangko, dan Lonca. Di ketiganya kami membangun gedung TK darurat agar anak-anak bisa tetap sekolah. Lalu mengutus dua ibu guru untuk memberikan pendampingan kepada guru-guru lokal.
Tiga desa terpencil di pegunungan, letaknya berurutan di satu jalur jalan yang terus menanjak. Pemandangan desa-desa ini masih berantakan, reruntuhan rumah dan tumpukan limbah kayu masih terserak di sana sini. Setelah melewati Lamo, kami tiba di Boladangko, Ibu Guru Desi menyambut kami dengan senyum lebar, ketika kami tiba di halaman TK, ia sudah mengajar di sini selama 4 bulan.
Anak-anak TK pun riuh menyambut dengan wajah ceria secerah langit Kulawi pagi itu. “Kami para guru-guru lokal berterima kasih karena sudah didampingi oleh ibu guru Tika dan Desi dari PESAT. Banyak pengetahuan baru dalam mengajar TK yang sebelumnya kami tidak tahu,” ujar Ibu Naemi, guru TK Boladangko. Ia duduk di atas tumpukan kayu di bawah pohon. Tidak cuma TK, kami juga membuka bimbingan belajar untuk anak-anak usia SD sampai SMA sembari kami juga membina mereka, tambah Desi.
Di sebuah kedai kopi di depan TK kami bersua para tokoh masyarakat Kulawi yang sudah menunggu sedari pagi. Rony Tahuma, Kepala Desa Boladangko menjabat erat tangan kami mengucap terima kasih. Penduduknya yang mayoritas petani sangat bersukacita karena pembuatan pupuk organik yang diajarkan PESAT telah menunjukkan hasil yang sangat baik pada pemulihan pohon-pohon coklat mereka. Beberapa ketua kelompok tani juga bersyukur karena bantuan ternak indukan babi Australia yang kita berikan.
Dari Boladangko kami naik terus ke Lonca, desa di ujung cakrawala, jalan rusak parah di antara hutan rimba harus dilahap ban sepeda motor kami. Akhirnya kami tiba saat mentari dari balik bukit muncul dan menerpa bunga-bunga anggrek hutan. Sekretaris Desa Lonca Tommy Gedi menyambut kami di antara hamparan biji coklat yang dijemur. Terima kasih atas bantuan dari PESAT untuk bangunan TK, anak-anak sudah mulai bersekolah, ucapnya lugas. Aku berkeliling dan melihat gedung TK yang kita bangun, ada dua ruang kelas, bangunan semi permanen, namun sudah dilengkapi dengan wc/kamar mandi dengan air yang tersedia mengalir dari tandon di atas. “Sudah bagus, sudah lengkap dengan kursi dan meja,” ucap Ibu Guru Vony tersenyum. Ia orang Lonca asli. Tapi kami tidak ingin PESAT benar-benar pergi sebelum melatih kami para guru di desa Lonca. Aku tersenyum menjabat tangannya.
Ia memaksa kami mampir, di beranda rumahnya ia menyuguhkan kami kopi panas. “Ini kopi yang kita tanam di Lonca, saya campur dengan biji cocoa karena barusan panen, cobalah, saya belajar dari Youtube,” akunya tersipu. Kita berpamitan karena kabut sudah menyelimuti bukit-bukit.
Hujan mendera sepanjang jalan kembali ke desa Boladangko. Anak-anak bimbel memenuhi rumah dinas ibu guru ketika kami tiba. Mereka menangis, saat tahu siang itu adalah yang terakhir bagi mereka bertemu ibu guru, tak kuasa melepas kepergiaan kedua ibu guru yang sudah menolong mereka selama beberapa bulan usai bencana. “Tugas kami berakhir hari ini, dan harus mengucap selamat tinggal pada anak-anak dan penduduk desa,” jelas Desi.
Ini adalah pengalaman luar biasa yang saya dapatkan dalam hidup saya, kalau bukan karena bencana ini mungkin saya tidak pernah tahu ada desa bernama Boladangko, dan saya tidak pernah punya kesempatan untuk kenal lebih dekat dan berbagi kasih Tuhan kepada mereka. (tony)
* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.
*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.
Sponsori seorang anak desa di
Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos
WA: https://wa.me/6285101294002
Instagram: pesat_ministry
Untuk menginformasikan donasi anda silahkan hubungi kami di 0851 0029 4001 (Senin s/d Jumat, jam 9.00-17.00) atau kirim e-mail ke pesatjkt@gmail.com