Jumita Prapmawati
“Sang bayu mengalun bersama camar di antara nyiur melambai. Hanya suara debur ombak… lalu kembali sunyi… sepertinya perlu sisipan semangat.”
“Kami bersyukur orang tua sudah sadar akan pendidikan anak usia dini, namun saya sedih juga saat melihat anak-anak ke sekolah hanya bawa bekal nasi saja, tanpa lauk, bahkan saya hanya bisa terpaku ketika melihat anak-anak makan katak yang menurut saya itu belum diolah sempurna karena masih ada kulitnya…” Jumita Prapmawati bicara dengan wajah serius.
Ia sudah tak ingat lagi pada moment ketakutannya ketika semalaman di ombang-ambing gelombang saat melayari samudera dari Padang menuju Mentawai, pulau-pulau mungil di sisi terluar negeri kita. Bahkan pada sampan-sampan kecil yang kandas di air surut yang memaksanya turun mendorong agar bisa sampai ke TK-Tk terpelosok.
Kali ini Jumita sudah tiba di Pulau Pagai. “Aku merasa melihat desa mati,” katanya. Matahari sudah terbenam ketika ia menginjakkan kaki di Matobe. Gelap, tak ada listrik, hanya cahaya lemah berpendar dari dalam rumah-rumah kayu, aku hanya berpikir bagaimana anak-anak mengerjakan PR dengan cahaya lampu minyak yang meredup itu.
Malam ini Jumita menginap di rumah Mamak Basani, ibu tua yang selalu membuka rumahnya bagi guru-guru TK yang diutus ke sini. Sudah dua tahun kalian tak kirim guru ke sini, katanya pelan. Baru jam 8 dan semua orang sudah tidur, Jumita hanya bisa duduk termangu.
Akhirnya pagi yang datang juga, ia bergegas, dan di hadapannya kini sudah ada TK Anugrah Terpadu, di dusun Matobe, Pulau Pagai, satu dari 22 TK PESAT yang tersebar di kepulauan.
“Bangunan semi permanen ini tak lagi berwarna, cat mengelupas di sana-sini, warna kusam membungkus seluruh dinding, rerumputan tumbuh liar,” Jumita menghela nafas. Permainan luar ruang anak-anak sudah berkarat dan bisa melukai, perlahan ia melangkah ke dalam ruang kelas, lantainya sudah retak-retak.
“Melihat ini saya hanya berpikir bagaimana segera memperbaikinya, membuatnya kembali berwarna, ceria, penuh semangat, dan nyaman untuk bermain dan belajar,” gumam Juwita.
Bersama dua ibu guru lainnya ia pelan-pelan mulai membenahi TK, merapihkan rumput di halaman dengan cangkul, membersihkan kelas, lalu mengecatnya. “Tangan kami perih karena lecet-lecet, terkelupas,” Jumita sambil meringis. Ia juga bilang badan mereka sakit-sakit karena tak pernah kerja berat. “Tapi kami sukacita! membayangkan nanti anak-anak belajar dan bermain dengan nyaman. Sekarang warnanya pink!” tiba-tiba ia tertawa gembira.
Setelah hari itu anak-anak murid pun bersemangat untuk datang, lanjutnya. Di luar dugaan, penduduk tergerak membantu, mereka membuat pagar TK, lalu memperbaiki lantai kelas hingga terlihat baru. Sukacita luar biasa bisa melihat penduduk mau turut bersama membangun TK, padahal dulu sulit sekali ajak mereka untuk kerja bakti merapikan TK. “Perjuangan di Mentawai termasuk juga berjuang melawan kehidupan statis, yang begitu-begitu saja, enggan berubah ke arah lebih baik,” tegas Jumita. Ia ingin melalui TK energi dan semangat perubahan itu bisa ditularkan ke seluruh penduduk di kepulauan.
Di Matobe penduduk menanam pisang dan pinang. Pisang adalah makanan pokok mereka seperti kita makan nasi, sedangkan pinang untuk dijual ke luar pulau. Aku mulai tinggal di sini sejak Juli 2017, dan sepertinya masih berada di zaman dulu, kami masih pakai kompor minyak, sumber air masih jauh, dan harus berjalan kaki naik-turun untuk mandi, mencuci, belum lagi harus memikul jeriken untuk persediaan air di TK.
Suatu ketika ada tiga murid TK yang keluar kelas lalu memanjat pohon ceri. Mereka sudah sampai di dahan yang paling tinggi. Ya ampun, saya panik, takut mereka jatuh. Tapi biar bagaimanapun guru kan tidak boleh memarahi mereka apalagi sampai melarang dengan mengucapkan kata “jangan”, jangan naik pohon. Dengan berbagai cara saya bujuk agar mereka mau turun, tapi mereka malah mengejek bahkan menantang saya untuk ikut naik. Saya sempat kesal juga, tapi dalam hati saya bilang, saya pakai rok bisa tidak ya manjat pohon? Akhirnya saya tinggalkan dan menunggu mereka sampai turun sendiri.
Setiap sekolah selesai biasanya kalau kami rasa terlalu tegas saat mengajar tadi, kami minta maaf kepada anak-anak. Eh, tiba-tiba beberapa anak yang tadi naik pohon ceri mendatangi saya lalu minta maaf. “Maafin kami tadi ya, Bu Guru…” Mendengar mereka berucap itu hati saya rasanya langsung meleleh, mereka sadar akan kesalahannya, mereka sudah tahu dan berani datang meminta maaf. Aku bersukacita, dan rasa bahagianya tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Lelah, capek, itu pasti, karena gak mudah menghadapi masalah di sini. Mulai dari orang tua murid, bahkan guru-guru pun ada saja masalahnya, dan beda-beda. Saya berfikir bagaimana cara untuk menyelesaikannya satu per satu dengan baik. Kadang kalau sudah lelah saya ke tepi pantai melihat matahari terbenam, berteriak-teriak biar fresh lagi semuanya.
“Tapi aku bahagia ditugaskan ke sini, semoga kehadiranku bisa membawa perubahan yang lebih baik,” ucap Jumita. Harapannya untuk anak-anak di Mentawai adalah agar mereka menjadi generasi yang cerdas, punya inisiatif dan tidak malas-malasan lagi, sehingga bisa berguna bagi orang lain dan generasinya. (b/t)
* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.
*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.
Sponsori seorang anak desa di
Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos
WA: https://wa.me/6285101294002
Instagram: pesat_ministry
Untuk menginformasikan donasi anda silahkan hubungi kami di 0851 0029 4001 (Senin s/d Jumat, jam 9.00-17.00) atau kirim e-mail ke pesatjkt@gmail.com