Gula Untuk Kopi Toraja

“Sekolah ini sudah hampir tutup ketika Nies tiba, dan juga mungkin sudah lama tutup jika sampai saat ini Nies tidak bertahan mengajar di sini,” cerita Lucky, penduduk desa Miallo yang membantunya mengajar. Para murid sangat antusias belajar, tapi tak ada guru.

“Memang hitam, tapi manis aku…” ucapnya bergurau diikuti tawa yang riang memecah keheningan hutan pinus di lereng bukit yang basah oleh gerimis petang itu. Lelaki kelahiran Wamena-Papua 25 tahun lalu ini akrab dipanggil Kak Nies. Ia diutus PESAT pada tahun 2007 untuk membangun masyarakat Toraja di pedalaman.

Untuk sampai ke sini kita hanya bisa mengendarai sepeda motor trail yang selama dua jam melintasi jalan tanah penuh kubangan lumpur yang meliuk-liuk di antara lebatnya hutan hujan di lereng-lereng pegunungan Simbuang. Di sini orang masih menggunakan kuda untuk transportasi barang dan manusia.

Nies menjadi guru di sebuah SMA yang mati suri di Lembang Miallo, Kecamatan Mappak, desa paling ujung dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Wilayahnya berbatasan dengan Sulawesi Barat, dan tapal batasnya berada tak jauh dari halaman sekolah. Sungguh wilayah perbatasan yang jauh dari mana pun.

Para murid datang dari dusun-dusun yang jauh di balik gunung-gunung, mereka berjalan kaki. “Ada yang datang dari dusun Sumasan sejauh 8 kilometer, dari dusun Kapuan 7 kilometer, Serpen 4 kilometer, dan dari dusun Salura 8 kilometer. Jam 4 pagi mereka sudah bangun, jam 5 sudah start, jalan kaki naik-turun gunung, masuk lembah, tidak peduli lumpur, tidak perduli perjalanan jauh, asalkan sekolah…” papar Andi Palao, sesepuh desa Mialo yang menyediakan tanah dan rumahnya untuk dijadikan sekolah SMA.

“Seringkali mereka pulang sekolah dalam kondisi perut kosong dan menempuh jarak yang sangat jauh, mereka baru makan siang ketika sampai di rumah pada sore hari,” papar Nies sedih. Itulah mengapa ia sering menyediakan makan siang bagi para muridnya, agar bisa makan bersama sebelum pulang.

SMA ini didirikan atas inisitatif masyarakat, beberapa tahun lalu sebelum kedatangan Nies, namun akhirnya mati suri karena tak ada guru yang mengajar, meski antusias dan semangat luar biasa ditunjukkan oleh puluhan murid yang tetap setia datang ke sekolah setiap hari.

Sekolah akhirnya hidup kembali. Para murid kini punya guru. Nies mulai mengajar, dan dibantu seorang penduduk lokal yang tergerak, ia mengajar semua mata pelajaran.

Nihilnya fasilitas di sekolah membuat ia berusaha keras untuk mengadakannya. “Banyak anak-anak yang menyukai pelajaran komputer, tapi sayang selama ini mereka hanya belajar teori dan melihat gambar komputernya saja, belum pernah sekalipun mereka mencoba komputer karena memang di sini tidak ada,” terang Nies yang lalu memberikan laptop-nya untuk para murid belajar.

Berkorban demi Asa Sang Murid

Mendekati ujian akhir nasional (UAN), siswa kelas 3 SMA menjadi perhatian khusus baginya. Sebagai guru kini ia mengambil tanggung jawab besar untuk menghantarkan anak-anak muridnya lulus SMA. “Di sekolah kami tidak ada laboratorium apapun, bahkan untuk pelajaran komputer saja hanya teori, para murid hanya bisa membayangkan bagaimana memegang mouse dan mengetik dengan keyboard”, jelas Nies.

Jadi, di semester akhir sebelum UAN, aku membawa mereka untuk sekolah di kota, agar mereka bisa beradaptasi sebelum ujian nasional, juga bisa menikmati belajar di sekolah yang berfasilitas standar meski hanya lima bulan saja, lanjutnya.

Nies kadang harus nombok untuk biaya hidup muridnya selama sekolah di kota, bahkan ditambah harus pinjam uang teman-teman untuk ia bisa melihat anak muridnya menamatkan SMA mereka. Ini ia lakukan karena orang tua murid begitu miskin dan tidak punya uang untuk membiayai sekolah mereka di kota.

“Berkat yang dari Tuhan harus kita bagikan juga kepada orang lain, karena hidup harus berarti untuk orang lain..” sepenggal kata-kata yang ia yakini selama ini telah memotivasi dirinya dalam pelayanan.

Ia pun kerap mengunjungi rumah para murid, untuk mengetahui kondisi kehidupan keluarga mereka, tentu Nies pun harus merasakan seharian penuh berjalan kaki, dari diterangi matahari hingga diterangi bulan. Namun ia sungguh menikmati, katanya, “Biar aku juga bisa merasakan perjuangan mereka untuk bisa mengenyam bangku sekolah.”

Nies Yigibalom, seperti gula yang membuat kopi Toraja memiliki cita-rasa. (feby/tony)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sposori seorang anak desa di 

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry