Membangun Mimpi Di Rawa-rawa Papua

“Hati saya sangat sedih melihat anak-anak itu berenang di kali tanpa mengenakan baju, memperlihatkan tulang-tulang yang hanya dilapisi kulit, tanpa beban mereka tertawa lepas, tanpa impian, tanpa cita-cita, tanpa harapan, karena tidak ada satupun mereka  yang pernah sekolah,” ujar Eunike Ketut Triasih mengenang tiga tahun lalu saat ia melihat keadaan orang-orang Memberamo yang bermukim di kawasan rawa-rawa di daerah Koya Timur, Papua.

Sebenarnya kampung ini tidak jauh dari kota, tapi ketika masuk keadaannya sangat memprihatinkan, bahkan kampung ini dikenal rawan, jadi sangat mustahil bagi masyarakat sekitar untuk masuk ke daerah ini. Tetapi tidak bagi Eunike, ia datang dengan keyakinan, memasuki daerah ini. “Saya dapat informasi ada satu suku yang belum dilayani di daerah sini, lalu saya tinjau, wah dulu masih hutan, saat air rawa meluap saya pakai perahu masuk ke kampung ini,” kenang perempuan Bali ini serius.

Memasuki daerah terasing  hanya seorang diri, bukanlah tanpa resiko. “Saya masuk pertama kali di kampung ini, dihadang dan diancam warga, mereka bilang kamu siapa, ini bukan kamu punya tanah buat apa masuk-masuk sini, tidak boleh orang asing masuk sini,” Eunike menceritakan dengan ekspresif. Eunike tidak putus asa, ia malah semakin yakin untuk melakukan pelayanan di sini. “Ketika saya dihadang, pertama, saya bilang sama Tuhan, Engkau yang utus saya kesini, biarlah setiap tanah yang saya injak menjadi berkat dan berhasil, khususnya  untuk membuat anak-anak di sini masuk sekolah,” tegasnya.

Eunike terus datang berusaha menemui orang-orang itu, dan ia memulai pendekatan dari rumah ke rumah menjelaskan maksudnya untuk pelayanan di kampung  ini. Usahanya berhasil, ia pun memulai pelayanan dengan membuat bimbingan belajar. Setiap hari sambil menggendong anaknya yang masih kecil, ia membawa papan tulis berkeliling mengajak anak-anak belajar.

Setelah satu tahun mengadakan bimbingan belajar, ia meminta izin para orang tua untuk menyekolahkan beberapa anak.  “Ibu, bagaimana mereka sekolah, mereka tidak ada pakaian, sepatu, dan buku-buku?” itu jawaban para orang tua mereka. “Tidak apa-apa, yang penting mereka punya niat untuk sekolah,” jawab Eunike menyakinkan mereka. Lalu ia pun membawa sepuluh anak ke sekolah dan menghadap kepala sekolah dengan menjelaskan minimnya keadaan mereka. Kepala SD pun menerima kesepuluh anak itu di sekolah.

Setiap hari, Eunike datang mengetuk pintu rumah kesepuluh anak itu dan mengantarkan mereka sekolah. “Tuhan beri mereka semangat sekolah, kasih mereka kepintaran,” doanya setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah. Eunike juga berdoa agar anak-anak muridnya ini punya rasa percaya diri dan tidak minder atau merasa tersisih karena maklum saja penampilan mereka berbeda dengan murid-murid lain yang memang anak kota; murid-murid Eunike memakai seragam bekas yang beberapa sudah sobek, tanpa sepatu, hanya membawa satu buku dan satu pensil dalam kantong plastik.

Selain bimbingan belajar, dibantu beberapa rekan ia melakukan pelayanan sekolah minggu, memeriksa kesehatan anak-anak dan orang tua, bahkan seringkali juga ia pun memberikan tambahan makanan bergizi karena banyak yang kurang gizi. kadang mereka sampai satu minggu hanya bisa makan singkong saja, karena tidak mampu membeli lauk-pauk, lanjutnya.

Karena tinggal di rawa-rawa, mandi air rawa, semua mereka terutama anak-anak menderita penyakit jamur kulit yang parah atau yang biasa di sini disebut “kaskado” (tinea imbrikata). Saya setiap sore datang ke irigasi di waktu jam mandi mereka, menjaga agar mereka tidak mandi di sana, tegas Eunike tertawa.

Kuatnya keinginan Eunike untuk membuat  semua anak-anak rawa ini bisa sekolah sangat besar, memasuki tahun 2012 ia pun mendaftarkan kembali 7 anak. Lalu tahun 2013 menyusul kembali 5 anak dan 1 masuk ke TK Pelita Terpadu milik PESAT.

Memasuki tahun keempat pelayanannya, ia terus menyemangati anak-anak untuk sekolah, meski memang tidak mudah karena tidak semua anak ingin sekolah. Ia tetap semangat meski kadang masih terkendala dana juga karena memang untuk kebutuhan sekolah seperti seragam, buku, dan alat tulis anak-anak masih bergantung padanya.

Dari total 60 anak yang dilayani di kampung rawa orang Memberamo ini, baru ada 25 anak yang bisa sekolah, Eunike berharap tahun 2017 semua anak usia 6 tahun ke atas akan bisa sekolah semua. “Mereka harus diajari walaupun dalam keterbatasan tetap harus bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang baik,” ucap Eunike mengakhiri percakapan dikuningnya senja yang menyapu bunga-bunga teratai di permukaan rawa. (feby/tony)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di 

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry