Mencari Murid Sampai Ke Ujung Bumi

Sarolangun – Jambi, Sumatera, nun jauh di dalam hutan.  “Kalau anak-anak pintar, orang tua yang senang. Kalau dia bodoh, kami sama-sama tidak mengerti,” kata Temenggung Nurani, Kepala Suku Anak Dalam Pulau Lintang yang mendiami sisi lain sungai Surian anak sungai Batanghari.

Jumlah kelompok mereka ada 23 keluarga dengan 30 anak-anak. Tidak mudah menjangkau mereka. Hanya satu orang dari mereka yang bisa berbahasa Indonesia. Novrianus dan Joko Maryanto, para guru muda yang diutus mulai mengajari mereka; memperkenalkan huruf dan angka, membaca, berhitung, dan ilmu pengetahuan!

Rasa penasaran anak-anak rimba ini menyala, tatapan nanar mereka bak melahap semua pengetahuan yang diajarkan. Enam bulan mereka mengenal “sokola” dari bawah pohon, akhirnya Joko mendaftarkan 11 anak-anak rimba ke sekolah sungguhan, sebuah SD Negeri di seberang sungai. Mereka diterima, dan mulai masuk sekolah.  Luar biasanya adalah; mereka bisa mendapatkan nilai tertinggi pada ulangan beberapa mata pelajaran dan mendapatkan ranking. Mereka lah, generasi pertama suku itu yang mengecap bangku sekolah.

Di sebuah rumah beratap jerami yang tak berdinding, deretan alphabet ditulis agak besar di atas papan. Seorang pemuda berdiri di depan sesekali menunjuk ke papan lalu meneriakkan satu suku kata yang langsung diikuti orang-orang yang duduk di di hadapannya. Itu adalah suara Doni Gareda, guru muda  yang diutus ke Suku Lauje, di pegunungan Sulawesi Tengah. Para murid masih menyandang parang di pinggang dan bertelanjang kaki, termasuk kepala suku, mereka memanggil Doni “Pak Guru”.

Kelas yang bertengger di tepi jurang dengan air terjun besar di seberangnya ini tiap hari dimulai pada pukul 11 pagi, dan para murid biasanya baru datang dari ladang, atau pulang berburu. Mereka tertatih-tatih mengeja dan terbata-bata melafal kata, tapi bisa juga akhirnya!

Dari Sulawesi kita terbang ke Samudera Hindia, pulau mungil di tengah laut biru itu bernama Pulau Sipora. “Di dusun mereka tidak ada sekolah, untuk mencapai sekolah mereka harus berjalan jauh, berjalan kaki di bawah rerimbunan pohon-pohon kelapa di sepanjang pantai yang sangat berbahaya dilewati saat angin kencang karena kelapa yang berguguran bisa saja menimpa mereka, belum lagi saat pasang laut naik, ombak besar, anak-anak tidak bisa melintas, mereka kembali ke rumah dan tidak pernah sampai ke sekolah.”

“Medan sekeras ini tidak mungkin bisa dilalui oleh anak-anak usia 6 sampai 9 tahun,” terang Anna. Ia pun tahu betul jika anak-anak di usia tersebut tidak mulai sekolah maka akan terus tidak bersekolah sepanjang hidup mereka, seperti para orang tuanya yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Sebuah realita yang dikisahkan ibu guru Anna Purwanti ketika ia ikut merintis dan mengajar di SD kelas jauh di Pulau Sipora.

Dari tiga kisah pelayanan luar biasa para guru PESAT ini, saya lalu bertanya, “Untuk apa kita bersusah-payah menghadirkan pendidikan di daerah yang terasing seperti itu?” 

Tapi saya ingin jawaban yang paling sederhana, yang mendarat! Saya bertanya langsung pada orang-orang pedalaman itu. “Supaya kalo kita sudah bisa membaca dan berhitung, kita tidak bisa dibohongi lagi,” kata Nurani, kepala suku Anak Dalam.  Ia dan kelompok sukunya kerap menjual babi hutan hasil buruannya, dan biasanya mereka dicurangi dalam timbangan dan jumlah uang.  Hmm, jawaban yang sangat mendarat.

“Mereka akan banyak belajar tentang Firman Tuhan kalau mereka sudah bisa membaca sendiri,” jawab  Marleni Ninggeding, ibu guru di padang sabana Sumba Tengah.

“Dulu masyarakat bertanya dengan nada yang sinis, untuk apa pendidikan buat anak-anak desa ini? Mau ke mana juga mereka? Tapi akhirnya kita bisa buktikan setelah sekian waktu anak-anak murid kami sudah ada yang menjadi dokter, pendeta, dan lain-lain,” papar Ibu Naomie Ratusira, ibu guru TK di Tana Toraja. Ia bersama guru-guru PESAT lainnya sejak 20 tahun lalu telah mendaki bukit-bukit karst Tana Toraja untuk menghadirkan pendidikan.

“Ini pedalaman, sulit sekali untuk sampai ke sini, tidak ada yang mau, hanya guru-guru PESAT yang mau,” ujar Rusmini, ibu guru di tepian Sungai Mahakam di pedalaman Kalimantan Timur.

“Setelah lulus kuliah, saya ingin segera kembali ke desa saya, dan mengajar anak-anak suku saya, dan membangun masyarakat saya,” jelas Aderia, gadis suku terasing Wana di belantara Sulawesi Tengah  yang dididik para guru sejak kecil sampai akhirnya bisa kuliah di pulau Jawa.

Pendidikan berasal dari kata Latin “educo” yang berarti membangkitkan, memimpin, membawa keluar, memelihara dan menolong agar bertumbuh. Yang dibawa keluar adalah diri atau segenap potensi diri. Pendidikan dimaksudkan adalah “hidup untuk belajar”, dan ini berkaitan dengan pembentukan karakter, bagaimana seorang menjadi (learning to be). Bukankah Tuhan ingin kita pergi sampai ke ujung bumi dan memuridkan semua bangsa? Melalui pendidikan, kita ingin membangun manusia Indonesia secara holistik demi mengakhiri kemiskinan di pedesaan. (toni)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di https://bit.ly/DataSponsor-FC

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry