Miallo, Di Balik Kabut Gunung-gunung

“Mereka minta ayamku untuk dipersembahkan kepada dewa, karena hasil kebun tidak begitu bagus,” kata Pak Guru Nies.

Pagi selalu indah di sini ketika sinar matahari menyingkapi kabut di menara gereja, rumah-rumah tradisional dan tongkonan. Lalu kuda-kuda menyusuri tepian sungai. Bagiku ini adalah hamparan paling menawan di seluruh Tana Toraja yang pernah ku lihat. Miallo dibingkai oleh panorama indah…

Di ujung kelok-kelokan jalan yang menurun, akhirnya mobil berhenti. “Sampai di sini, ini Sibanawa. Tidak bisa terus ke sana,” kata Matius, sopir mini bus yang membawa kami.

Sibanawa adalah sebuah simpang tiga di jalur trans-Sulawesi. Kami tiba di sini setelah sembilan jam perjalanan dari Rantepao, melewati Makale, Enrekang, gunung-gunung tak bernama yang seakan tiada habisnya hingga turun ke tepian pantai Polewali – negeri orang-orang Mandar, para pembuat Pinisi – lalu naik lagi menembus kabut di pundak-pundak pegunungan di Messawa, sampai tiba di Sibanawa. Cukup sudah kelok-kelokan yang beribu-ribu ini berhasil mengeluarkan tiga kantong kresek isi perut rekan kerjaku.

Orang-orang menghampiri sesaat kami turun.“Beli wifi dulu, untuk komunikasi terakhir,” kata mereka. Saya berusaha mencerna…, oh ternyata maksudnya di sini ada warung kopi yang menyediakan akses internet, lima ribu rupiah untuk 30 menit. Oke, ini sangat menolong karena memang tidak ada ponsel kami yang bisa menangkap sinyal di sini, apalagi di pedalaman sana.

Jemri Nahak, guru Taman Kanak-kanak (TK), dan rekannya datang menjemput kami dengan sepeda motor,  lalu kita mengambil arah Selatan memasuki jalur off-road Sibanawa-Simbuang. Jalur jalan tanah merah yang rusak parah, longsor baru terjadi kemarin malam. Maklum musim hujan, tebing tanah di sisi kanan runtuh menimbun jalan poros ini.

Penuh waspada kami berkendara, sesekali melirik ke tebing di sebelah kanan dan tak lupa jurang menganga di sisi kiri. “Bulan lalu seorang pendeta tertimbun longsor bersama motornya saat melintas, beruntung ia selamat,” kata Jemri. Berulang-ulang saya turun, karena jalannya agak akrobatik dan terlalu berbahaya untuk berboncengan. Ada satu waktu kami pun turut bantu masyarakat yang sedang kerja bakti meratakan longsor, seraya menyapa mereka dan bicara sedikit.

Miallo, tempat yang kami tuju ini adalah sebuah kampung tradisional di Mappak, wilayah paling ujung Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Letaknya tersembunyi di balik kabut gunung-gunung, seperti negeri dongeng. Terpencil dan tak mudah dicapai.

Inilah negeri penghasil kopi Toraja yang tersohor itu. Tak banyak berubah seperti kedatanganku sewindu lalu, masih memesona mata. Sawah teraseringnya seperti permadani dan sungai mengalir seperti urat nadi bagi padi. Kuda-kuda berjalan perlahan di tepinya, mereka sepertinya masih digunakan untuk mengangkut kopi dan hasil panen lainnya.

Toraja di pagi hari bukan sekadar lansekap menawan, tetapi juga menawarkan cerita yang khas. Orang-orang berbalut kain tenun ikat warna-warni yang tebal untuk menghalau dingin, menarik kerbau, mengolah sawah. Melengkapi nikmat rasa kopinya, Miallo diiringi suara bocah-bocah mengisi irama pagi, mereka melangkah beriringan penuh semangat menyusuri jalan-jalan tanah merah yang basah menuju sekolah.

Yang membuat ku terkesima adalah; kita jauh dari manapun, akses jalan yang sulit, bahaya longsor, tidak ada sinyal internet, yang agak luput dari perhatian mungkin, tapi dari mana datangnya semangat ini? Dari mana passion untuk menuntut ilmu? Aku tanya guru-guru kita yang datang ke sini belasan tahun silam, mereka bilang ya sudah seperti itu, itulah mengapa kami miris jika tidak bisa menolong mereka agar passion-nya terpenuhi.

Aku jumpai Ibu Guru Hermin Tappi di TK Miallo Terpadu, ia bersama Jemri mengajar anak-anak gunung ini. “Awal buka itu 2019, setelah tiga kali ditolak kepala desa, akhirnya permohonan keempat diizinkan untuk mendirikan TK,” kata Jemri.

Murid pertama kami 24 anak, masyarakat memandang sebelah mata, TK tidak terlalu penting menurut mereka, toh, anak-anak bisa langsung masuk SD. Tapi pandangan itu sirna ketika kami berhasil meluluskan sepuluh murid pertama, lanjut Jemri, masyarakat mulai melihat, ternyata murid lulusan TK itu punya karakter yang bagus, begitu juga dengan kemampuan baca-tulis mereka, di atas anak-anak yang tidak ikut TK!

Saya mengunjungi TK Miallo di tepi lereng dengan sungai mengalir di bawahnya. “Bangunan ini masih pinjam dari kantor desa,” kata Bu Hermin. Sebuah rumah papan tidak terlalu besar, belum memadai untuk standar sebuah TK. Anak-anak belajar di kelas sempit yang sepi alat bantu mengajar itu.

Terlintas di pikiranku tentang sosok Nies Yigibalom, Guru PESAT yang 15 tahun lalu datang ke sini dan menghidupkan sebuah SMA yang mati suri karena tak ada guru. Sekolah itu kemudian hidup lagi dan anak-anak pegunungan Mappak bisa punya masa depan. Aku menjumpai Nies di satu sore bergerimis.

“Dulu kami menolong murid-murid yang tetap setia datang tiap pagi, jalan kaki berkilo-kilo dari balik-balik gunung, meski tak bertemu satu guru pun di sana. Itu sudah berhasil, mereka semua tamat SMA, sudah sarjana malah, kini SMA sudah cukup guru dan punya gedung baru,” pungkas Nies, ia lalu terdiam dan menarik nafas, suaranya parau ketika lanjut bicara. “Tapi, saya rasa ada yang terlewat, saya ingin kita membangun karakter anak-anak itu sejak usia dini, sejak usia emas mereka, agar tidak terlambat,” tutupnya penuh harap.  Daerah ini mayoritas penduduk masih menganut agama nenek moyang: Aluk Todolo. Masih menyembah dewa.

Saat fajar, Nies mengajak saya ke pundak bukit di sana, bagi saya ini adalah hamparan paling menawan di seluruh Tana Toraja yang pernah saya lihat. Miallo memang hanya kampung sederhana, tapi ia dibingkai oleh panorama yang indah. Tentu akan lebih indah ketika kelak Taman Kanak-kanak berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan seperti mimpi Ibu Guru Hermin Tappi. (Antoni Marvin)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di https://bit.ly/DataSponsor-FC

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry