Kelas Jauh Bagi Anak Mentawai

TK pertama dibuka di dusun Sao, di luar ada anak-anak usia 10-11 tahun yang mengintip dari celah-celah dinding papan, mereka serius memerhatikan ketika ibu guru sedang mengajar para murid TK di dalam kelas. Sesampai di rumah, mereka kembali belajar, bahkan meminta adik mereka yang tadi ikut TK untuk mengulangi apa yang diajarkan ibu guru.

Sebuah kisah yang menyayat hati, seperti dikisahkan ibu guru Anna Purwanti ketika ia membuka TK di Pulau Sipora, Kep. Mentawai. Pendidikan selalu menjadi magnet bagi anak-anak, minat belajar mereka sungguh tinggi, hanya saja kesempatan tidak kunjung datang bagi mereka. Anak-anak usia 10-11 tahun itu tidak sekolah.

“Di dusun mereka tidak ada sekolah, untuk mencapai sekolah mereka harus berjalan jauh, berjalan kaki di bawah rerimbunan pohon-pohon kelapa di sepanjang pantai yang sangat berbahaya dilewati saat angin kencang karena kelapa yang berguguran bisa saja menimpa mereka, belum lagi sungai yang meluap saat pasang laut naik, anak-anak tidak bisa melintas, mereka kembali ke rumah dan tidak pernah sampai ke sekolah.

“Medan sekeras ini tidak mungkin bisa dilalui oleh anak-anak usia 6 sampai 9 tahun,” terang Anna. Ia pun tahu betul jika anak-anak di usia tersebut tidak mulai sekolah maka akan terus tidak bersekolah sepanjang hidup mereka, seperti para orang tuanya yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa Indonesia.

Waktu berlalu, hampir menjelang dua tahun ajaran, dan para murid TK hampir tamat. Anna berpikir bahwa jerih-lelahnya akan percuma jika akhirnya toh anak-anak tetap tidak bisa melanjutkan sekolah di SD. Ia lalu pergi menjumpai kepala SD untuk mengusulkan agar SD membuka “kelas jauh” di dusun tempat ia mendirikan TK. “Aku yang akan menjadi gurunya nanti,” tekannya coba meyakinkan sang kepala sekolah.

SD Kelas Jauh akhirnya digulirkan di dusun Sao, puluhan anak berbondong-bondong masuk kelas. “Sekolah ini hanya sampai kelas 3, dan mereka akan melanjutkan kelas 4 di SD induknya di desa Mongabosua ketika mereka telah cukup besar untuk melakukan perjalanan yang beresiko itu,” jelas Anna mengenang pengalamannya merintis sekolah pada 1996 di sana.

Menjangkau Yang Terasing

Anna Purwanti hadir di sebuah “talk show” dalam pertemuan Sahabat PESAT (23/11), ia bersama Nela Debora yang melayani pendidikan di Pulau Siberut, pulau lainnya di kepulauan Mentawai, yang memiliki kisah serupa, bahkan 12 tahun kemudian setelah kisah Anna Purwanti di tahun 1996, kisah seperti itu masih bisa didengar saat ini. Nela Debora pun mengusulkan untuk dibuka SD di dusun Bolotok.

Lalu hadir juga Febri Sababalat, puteri Mentawai asli, ia tinggal di desa dimana Bu guru Anna mendirikan sekolah. Bahkan di desa itu pun kini belum ada SMA. Febri harus melintasi lautan untuk bisa melanjutkan sekolah. Ia beruntung karena tinggal di Pondok Bina Siswa PESAT di kota kecamatan dimana SMA berada. “Separuh dari temanku tidak bisa melanjutkan ke SMA,” ucap Febri lirih.

Kondisi geografis, langkanya infrastruktur, dan kekurangan guru; adalah faktor-faktor utama penyebab desa-desa tetap terasing, jauh dari jangkauan, anak-anak tidak bersekolah, dan tertinggal. Tahun ini PESAT mencoba untuk mengajak para sahabatnya untuk memberi kesempatan kepada mereka yang terasing dengan mendukung pelayanan ini. (tony)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di https://bit.ly/DataSponsor-FC

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry