“Surak Sabeu”, Terima Kasih, Bu Guru

Anak-anak Kepulauan Mentawai

Aku tulis nama Kakak di buku aku…, aku mau tulis surat buat Kakak.

Kenapa?

Supaya kalau aku sudah besar, kita bisa bertemu lagi.

Kalau bisa pergi ke suatu tempat di luar Kepulauan Mentawai, kamu mau ke mana?

Aku mau ke Jakarta, ketemu Kakak…

Satu percakapan ringan dengan seorang remaja putri di desa Saureinu, usai mendengarkan cerita kami di kelas yang penuh sesak dengan anak-anak kepulauan itu. Kami bercerita tentang  satu profesi yang bisa pergi ke berbagai tempat, menulis cerita, lalu dibagikan dan kemudian banyak orang membaca kisahnya.

“Kakak akan bercerita tentang anak-anak pemberani dari Kepulauan Mentawai yang berjuang untuk meraih cita-citanya, agar orang-orang di tempat lain tahu bagaimana gigihnya usaha kalian,” lanjut Novauli di hadapan seratusan anak Future Center sore itu.

Iya, hari ini kami berkesempatan mengunjungi satu Future Center PESAT di sebuah desa di tepi aliran Sungai Saureinu di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Satu malam kami berlayar dari dermaga Teluk Bayur di Kota Padang dan tiba di Tua Pejat, ibukota kabupaten Kepulauan Mentawai sebelum melanjutkan dengan sepeda motor selama dua jam.

Bocah-bocah  usia SD hingga SMA siang itu memadati ruang kelas dari gedung TK yang terbuat dari papan. Di sini, Future Center seperti magnet bagi anak-anak. “Mereka itu semangatnya untuk ikut FC luar biasa! Bayangkan, mereka sudah tiba di FC bahkan 1-2 jam sebelum kegiatan FC dimulai. Ada yang langsung dari sekolah tidak pulang dulu, saya sampai bilang; pulang dulu, nak… makan dan mandi dulu baru balik lagi ke sini…, kata Bu Guru Delfan.

Cerita kami seakan menerbangkan imajinasi bocah-bocah polos ini, kami bisa melihat bagaimana mereka ingin terbang, wajah penuh tanya penasaran seperti apa kota-kota di luar pulau mereka.

Sepuluh tahun terakhir ini, jalan darat mulai dibangun di Kepulauan Mentawai hingga bisa menghubungkan desa-desa di pedalaman dengan kota kecamatan atau kota kabupaten menggantikan jalur-jalur sungai yang sebelumnya digunakan untuk mencapai tempat-tempat di sana. Tapi sayangnya di banyak tempat masih belum ada jaringan internet dan aliran listrik yang memadai. Tidak banyak informasi yang bisa didapat semudah di kota, ini tentu mengingatkan kita bahwa kita sedang berada di kepulauan di tengah Samudera Hindia yang terpisah jauh dari daratan induk  Sumatera. Itu juga yang membuat mereka terlihat begitu haus akan informasi, akan cerita-cerita yang melayangkan imajinasi mereka terbang jauh ke luar kepulauan.

Sore itu di Future Center Saureinu, anak-anak dibagikan buku cerita. Kami begitu terharu melihat antusias mereka sesegera itu membuka lembar-lembar halaman dan membacanya dengan penuh ketertarikan, dengan penuh rasa penasaran. Mereka begitu haus informasi. Mereka sangat suka mendengar cerita-cerita, kata bu gurunya.

Kami juga berjumpa dengan Rika Pardede,  peserta BFL (Sarjana Pembaru Desa) yang diutus ke Saureinu. Kami tanya apa pengalaman menarik yang ia rasakan selama menjadi agent of chages di desa ini?

“Banyak sekali  cerita yang menarik tapi yang terpenting adalah aku dengan anak-anak ini berproses bersama. Awalnya mereka malu-malu sekali tidak mau memberikan pendapat, tidak berbicara, bahkan hanya senyum saat ditanya, seolah senyum itu bisa menjawab segalanya,” papar Rika.  Tapi puji Tuhan, sekarang malah kita yang kewalahan karena setiap jumpa mereka selalu ingin bercerita, “Kak… tadi saya begini tadi kami ke sini…”. Tapi yang terpenting bagiku adalah mereka sudah mulai terbuka jadi kita bisa masuk, maksudnya adalah apa yang mereka butuhkan yang bisa kutolong; yang paling kusoroti adalah untuk berani bermimpi.

Salah satu hambatan komunikasi di sini adalah anak-anak kurang percaya diri ketika menyampaikan sesuatu dalam Bahasa Indonesia karena kurang fasih. Mereka lebih sering menggunakan bahasa daerah di sini.

Hari itu kami berkesempatan berjumpa dengan bapak kepala desa Saureinu,  Tirjelius T. Oinan. Sosoknya bersahaja, kami bisa menangkap ide-idenya bagaimana ia begitu mendukung pendidikan anak usia dini dan bimbingan Future Center PESAT di desanya. Oinan kini berusia 40 tahun, ia pernah mengecap bimbingan dari guru-guru PESAT di saat remaja dulu, bahkan berkesempatan untuk beasiswa bersekolah di pulau Jawa. Kami ingin tahu bagaimana kesannya pada para guru. “Nilai-nilai yang diajarkan PESAT sangat berguna bagi kami, bagi masyarakat dan generasi penerus Mentawai,” katanya.  Guru-guru sangat peduli pada kami, surak sabeu, terima kasih Ibu Guru, tutupnya dalam bahasa Mentawai.

Sore itu kami mengakhiri kunjungan di desa Saureinu, melihat lebih dari seratusan bocah-bocah beriringan keluar dari Future Center dan mengalir ke rumah-rumah mereka. Beberapa langsung pergi mandi di sungai. Kami terharu melihat gambaran yang terlintas di depan mata, inilah anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita untuk dibimbing ke masa depan. (Antoni Marvin)


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di https://bit.ly/DataSponsor-FC

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry