KEMISKINAN DAN PERAN GEREJA

Oleh: Hans Geni Athanto, MA

Berbicara tentang definisi kemiskinan bergantung pada bagaimana pendekatan yang kita pakai. Apakah pendekatannya lebih ke arah kebutuhan dasar, pendapatan yang diperoleh seseorang, tingkat kesejahteraan sosialnya atau pembangunan manusianya. Secara umum definisi dari Bappenas (2004) mengatakan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar dimaksud adalah kebutuhan pangan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Karena itu, maka ada beberapa indikator kemiskinan yang mencirikan masyarakat miskin sebagai berikut:

  1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.
  2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan.
  3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan.
  4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha.
  5. Lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah.
  6. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi.
  7. Terbatasnya akses terhadap air bersih.
  8. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.
  9. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
  10. Lemahnya jaminan rasa aman.
  11. Lemahnya partisipasi.
  12. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
  13. Tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi, infrastruktur yang kurang memadai dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Pada umumnya kita berasumsi bahwa masyarakat miskin adalah mereka yang ada di pedesaan. Hal ini tidaklah salah kalau dilihat dari jumlah penduduk miskin di desa 24,5%, sedangkan di kota 11,5% (BPS 2004). Namun seringkali kondisi kemiskinan di kota lebih parah daripada di pedesaan. Keputusan pembangunan di masa Orde baru menggunakan kebijakan Trickle Down Effect[1] di satu sisi telah mengurangi jumlah orang miskin dari 60% menjadi 15% selama kurun waktu 25 thn, namun di sisi lain telah mengakibatkan terjadinya gap kaya-miskin yang sangat lebar. Hal ini sangat tampak di Jakarta, di satu sisi kita melihat suatu kehidupan yang sangat gemerlap, gaya hidup yang tidak kalah dengan kehidupan di negara maju, tapi di sisi lain kita melihat situasi kemiskinan yang sangat parah. Situasi ini terjadi karena lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, tata kelola pemerintah yang buruk dan terbatasnya kesempatan kerja. Contohnya penggusuran rumah terjadi berulang kali tanpa solusi yang memadai mengatasnamakan keindahan dan ketertiban kota. Akibatnya rakyat yang berupaya keluar dari garis kemiskinan, semakin terpuruk hidupnya dalam hitungan hari. Artinya jumlah orang miskin dan sangat miskin semakin bertambah sementara pemerintah memberikan Bantuan Tunai Langsung yang diharapkan bisa menolong masyarakat miskin. Mengapa demikian? Karena prioritas pembangunan pemerintah adalah mempercantik kota, bukan pada manusianya. Dalam hal inilah Gereja seharusnya tampil memperjuangkan kepentingan rakyat miskin, gereja harus pro-rakyat miskin.

Pada umumnya ada dua faktor yang menyebabkan kemiskinan, yaitu faktor internal yang disebut sebagai kemiskinan kultural, beranggapan bahwa kualitas manusia yang rendah sebagai penyebabnya. Faktor kedua adalah faktor eksternal yang disebut sebagai kemiskinan struktural, beranggapan bahwa kemiskinan terjadi karena ketidakadilan, prioritas pembangunan yang tidak berpihak pada penduduk miskin, bencana dll.

Bila kemiskinan tidak ditangani dengan segera, maka tentunya dapat mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan sosial: pengangguran, kriminalitas, jumlah anak jalanan semakin banyak, premanisme, kecemburuan sosial yang mengakibatkan lemahnya ketahanan sosial masyarakat dan akhirnya dapat bermuara pada kerusuhan sosial.

Bagaimanakah menangani kemiskinan? Mana yang harus didahulukan, pendidikan atau penegakan hukum? Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Robert Chambers (1983) mengetengahkan suatu model kemiskinan terpadu; kemiskinan tidak berdiri sendiri, kemiskinan terjadi karena masyarakat terisolasi, tidak punya akses pada pendidikan yang baik, tidak punya akses terhadap sarana kesehatan yg baik; akibatnya melahirkan ketidakberdayaan. Karena tidak berdaya maka masyarakat menjadi rentan, baru saja berupaya membangun usaha, baru mulai berhasil, petugas trantib datang dan semuanya habis dalam satu hari. Kerentanan ini mengakibatkan kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi, jauh dari lingkungan hidup yang memadai, melahirkan kelemahan fisik, angka kematian ibu dan bayi yang tinggi, usia harapan hidup yang pendek. Dan inilah rangkaian kemiskinan itu yang saling kait mengkait. 

Faisal Basri[2] dalam analisis ekonominya menyebutkan bahwa kunci mengatasi kemiskinan adalah revitalisasi sektor pertanian dan bangun pedesaan. Karenannya mengusulkan agar pemerintah lebih memberi perhatian pada sektor pertanian dan industri manufaktur. Berbagai pendapat lain pada umumnya menyetujui bahwa pendidikan dan kesehatan adalah dua pilar penting bagi upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Yang lain lagi berpendapat bahwa tidak cukup hanya memberikan layanan kesehatan dan pendidikan serta menolong sebuah keluarga mempunyai pendapatan yang layak, tetapi juga perlu diberi pembinaan mental-spiritual sehingga bisa mempunyai sikap yang baik dan dapat memilih kehidupan yang bijak dalam dunia yang sedang “hancur” ini. Jadi bukan sekedar memberi bea siswa pada seorang anak agar lulus SMA, tetapi juga menolong agar ia lulus SMA dan menjadi pemuda yang sikapnya baik, bisa mensyukuri hidup ini, tidak mudah menyerah, peduli dengan sesama dan beriman kepada Tuhan yang menjadikannya. Jadi jelaslah bahwa menangani kemiskinan yang sifatnya terpadu dan kompleks, tidaklah mungkin hanya melakukan dari satu aspek kehidupan saja, melainkan perlu pendekatan secara terpadu. Walaupun dalam praktiknya akan ada fokus-fokus yang berbeda pada setiap masyarakat bergantung pada kebutuhan dan konteks masyarakat yang dilayani.

Jadi bagaimana Gereja dapat berperan membantu pemerintah mengatasi kemiskinan tanpa tuduhan kristenisasi? Tuduhan terjadi oleh karena ada pihak-pihak yang menuduh ataupun karena pernah terjadi kasus-kasus yang mengarah pada kristenisasi. Tentunya kita tidak boleh berhenti melakukan sesuatu yang baik oleh karena adanya tuduhan (band. Mark 14: 4-6), namun di sisi yang lain perlu terus mawas diri agar kembali mengevaluasi apakah motivasi pelayanan kita. Bukankah Yesus mengajarkan dua hukum, yaitu hukum yang utama dan pertama: kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatanmu. Sedangkan hukum kedua adalah kasihilah sesamamu manusia seperti Kristus telah mengasihimu. Jadi landasan melakukan hukum yang kedua, mengasihi sesama adalah karena kasih kepada Tuhan. Kasih kepada Tuhan inilah yang seharusnya menjadi motivasi mengapa kita melayani sesama. Gereja perlu menyadari panggilannya sebagaimana Kristus berkata: “Aku tidak meminta supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat… Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yohanes 17:15, 18). Jadi, Gereja memang dipanggil untuk melayani, menyinari untuk menghadirkan terang, menggarami untuk mencegah kebusukan dan mewarnai dunia ini dengan nilai-nilai kebenaran. Karenanya Gereja sudah seharusnya mulai melangkah, melayani masyarakat sekitar yang membutuhkan pertolongan, bukan hanya pelayanan yang sifatnya insidentil (kharitatif), tetapi pelayanan yang sifatnya terus menerus dan memberdayakan, sehingga masyarakat terentaskan dari kemiskinan. Komunikasi perlu terus dibangun, baik dengan pemerintah setempat maupun dengan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, dan upayakan berjejaring dengan berbagai layanan lain agar dapat memberikan layanan yang maksimal. Gereja, jadilah berkat bagi sesama; mereka yang miskin, tertindas dan terabaikan.

[1] Teori pembangunan yang memberikan perhatian pertama kepada lapisan masyarakat tertenu yang dinilai mempunyai potensi lebih untuk berkembang, baru kemudian kelompok yang berkembang ini akan meneteskan ke bawah kepada seluruh lapisan masyarakat; karenanya teori ini disebut teori tetesan ke bawah.

[2] Kompas 17 Desember 2007, hal.1, ”Tantangan Baru Perangi Kemiskinan”


* PESAT (Pelayanan Desa Terpadu) adalah lembaga pelayanan Kristen interdenominasi yang sejak 1987 terpanggil untuk membangun dan meningkatkan harkat hidup masyarakat desa melalui pelayanan pendidikan.

*Future Center adalah program pembinaan anak usia 0 – 18 tahun yang bertujuan untuk memunculkan potensi seorang anak sepenuhnya dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sehingga ia menjadi sebagaimana yang Tuhan rencanakan.

Sponsori seorang anak desa di 

Saksikan kami di Channel YouTube: https://www.youtube.com/@PesatOrg/videos

WA: https://wa.me/6285101294002

Instagram: pesat_ministry